Idulfitri dalam Lensa Waktu
"Seluruh Indonesia pindah ke Yogyakarta, warlok di rumah saja!". Hahaha, begitulah seruan yang ada tiap menjelang libur panjang. Termasuk libur Idulfitri di abad 21 ini.
Di sini, di kota kelahiranku, Kota Yogyakarta. Tempat yang memberikan begitu banyak kenangan di setiap sudutnya. Tak bosan tempat ini kujadikan pilihan untuk menghabiskan waktu libur Idulfitri bersama dengan keluarga. Bukan menjadi hal yang baru lagi jika kota ini selalu ramai ketika liburan. Ibaratnya seluruh Indonesia pindah ke Yogyakarta. Memang agak lebay, tapi realitanya Yogyakarta sangat padat ketika liburan. Bahkan banyak warlok (warga lokal) yang memilih untuk di rumah saja daripada harus berdamai dengan kemacetan.
Cerita ini dimulai ketika memasuki malam takbiran. Puasa di hari terakhir yang diiringi gema takbir menjadikannya terasa begitu haru.
"Allahuakbar, Allahuakbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahuakbar wa lillahil hamdu."
Di seluruh penjuru arah, suara takbir itu saling bersahutan, seakan menjawab satu sama lain. Sudah menjadi tradisi yang dilakukan turun-temurun, desaku mengadakan takbir keliling bersama satu pedukuhan. Anak-anak hingga orang dewasa turut serta dalam acara ini. Semua membawa obor tanda kemenangan. Tidak hanya jalan kaki, gema takbiran juga diikuti dengan antusiasme menggunakan berbagai kendaraan. Banyak yang telah mempersiapkan properti-properti sebagai pendukung kemeriahan takbiran.
Ketika hari sudah semakin malam, bukannya semakin sepi, justru semakin ramai. Angin malam yang berhembus dingin mulai menusuk kulit, tetapi hal itu tidak membuat semangat kemenangan itu padam. Seruan-seruan itu kian terdengar nyaring diiringi suara petasan yang tak jarang membuat kaget. "Atau emang aku aja yang kagetan ya," gumamku. Hari kian larut, aku memutuskan untuk kembali ke rumah agar esok tak kesiangan.
[Tok tok tok] suara pintu diketuk.
"Dek bangun sudah pagi. Kita siap-siap untuk salat Idulfitri," ucap ayahku. Di pagi hari ini, tiba saatnya untuk melaksanakan salat Idulfitri. Pagi yang cerah, langit tampak biru bersih tanpa awan. Aku berjalan menyusuri jalanan pagi itu untuk menuju tempat salat. Bertemu banyak orang dengan raut wajah nan gembira yang melukis senyum di wajah mereka. "MasyaAllah, hari kemenangan ini benar-benar tiba." ucapku dalam hati.
Selesai salat, momen bermaafan pun tiba. Kembali ke rumah, seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tamu untuk melaksanakan tradisi halal bihalal. Duduk bersila di atas karpet, saling bergantian mengucapkan kata “maaf - nyuwun pangapunten (Jawa)” dan menerima permintaan maaf dengan senyum tulus. Suasana ini dipenuhi dengan kehangatan dan haru, seolah setiap kata yang terucap membawa beban perasaan yang terangkat. Meski ruang tamu itu tidak begitu besar dan mewah, tetapi kehadiran keluarga membuat setiap momennya menjadi penuh makna. Akan tetapi, di tahun ini ada yang berbeda.
Hari lebaran ini adalah lebaran yang berbeda; tanpa kehadiran ibu. Rumah terasa sunyi meskipun sekelilingnya ramai. Aku memandangi foto-foto kebersamaan bersama ibu. Kini momen itu hanya tinggal kenangan. Kehadiran ibu selalu berarti lebih dari sekadar kehangatan fisik; ia adalah pusat dari segala kegiatan, pemandu dalam setiap langkah, dan penyejuk dalam setiap hati yang gundah. Tanpa kehadirannya, setiap momen Idulfitri terasa kurang lengkap.
Namun, hari ini, aku memilih untuk mengisi kekosongan itu dengan mengenang segala kenangan indah yang pernah kami lalui bersama. Aku pergi ke makam ibu. Meluapkan seluruh rindu dan sepiku. "Bu, aku rindu," bisikku pelan di rumah baru ibu. Sedih rasanya, opor buatan ibu kini hanya tinggal kenangan saja. "Sudah jangan larut-larut sedihnya, kamu kuat, life must go on, break your leg! Adek pamit ya, Bu!" ucapku sembari memeluk diri sendiri.
Langkah demi langkah aku menjauh dari rumah baru ibu menuju ke musala dusun. Di sana ada acara syawalan. Seluruh warga dusun diundang untuk berkumpul menjadi satu, saling memaafkan dengan ikrar yang diucapkan khidmat. Bersalaman sebagai simbolis rasa persaudaraan. Di musala, selain melaksanakan doa syawalan, warga dusun juga saling berbagi cerita tentang kehidupan, mengenang momen-momen indah yang telah dilalui, serta menebar semangat kebersamaan yang khas di hari kemenangan. Meskipun ruangan musala tidak sepadat pasar, irama doa dan salam yang mengalun lembut menciptakan rasa haru yang begitu mendalam, mengingatkan setiap insan akan makna sejati dari hari raya.
Walaupun judulnya syawalan satu dusun, tetapi tidak semua dapat hadir di sana. Terlebih bagi orang-orang yang sudah berusia senja. "Kita keliling ke tempat mbah-mbah yuk!" ajak temanku bersemangat. Dan, ya, aku bersama dengan teman-teman berkeliling rumah ke rumah. Menyusuri jalan setapak kampung yang dikelilingi pepohonan rindang. Kami berjalan penuh keceriaan. Menghirup udara yang penuh dengan wangi-wangian berbagai masakan.
Rumah demi rumah kami datangi. Tak disangka perjalanan kami diselimuti perasaan haru yang kadang hingga pilu. Di setiap rumah 'tetua' dusun, menorehkan ceritanya masing-masing. Mereka merasa terharu karena masih ada
rasa dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Di sana juga penuh
dengan doa dan harapan bersama yang dilangitkan. Berharap ada banyak hal baik
yang menyertai dan Tuhan kabulkan.
Perjalanan kami keliling dusun selesai sampai azan zuhur. Memang sangat singkat. Kami kembali ke rumah masing-masing melanjutkan momen ini bersama dengan keluarga. Begitu juga denganku. Setelah memakai topeng kebahagiaan itu di luar, tangisku kembali pecah ketika pulang lagi ke rumah.
"Opor yang biasa dimasakkan oleh ibu, kini aku harus memasaknya sendiri ya" ucapku lirih sembari berjalan ke dapur. Tentu saja rasanya tak akan bisa mengalahkan buatan ibu. Justru terasa hambar kala itu. Ya lagi-lagi sedihku kembali. Tak ingin semakin berlarut, aku memilih untuk berlabuh di pulau kapuk alias tidur.
Malam hari menjelang, aku bersama dengan saudara-saudaraku mengadakan acara nge-grill bersama. Di halaman depan rumah, area outdoor telah disulap menjadi tempat berkumpul yang nyaman. Lampu yang remang-remang menyinari panggangan yang sudah disiapkan, mengundang semua untuk duduk santai dan menikmati hidangan.
Suara percakapan yang penuh canda, deru api yang menyala, dan aroma panggangan yang semerbak, serta tak lupa banyak sayuran sebagai lalapan yang menyegarkan. Semuanya berpadu menciptakan suasana malam yang tak terlupakan. Di antara tawa dan cerita, kenangan masa kecil dan harapan untuk masa depan dibicarakan dengan penuh keakraban. Sungguh malam yang mengesankan.
Lebaran tanpa ibu
memang meninggalkan lubang yang tak terisi, namun di balik setiap rindu itu,
tersimpan kekuatan untuk terus melangkah maju, mengukir kenangan baru, dan
menjaga api kasih yang telah ia tanam sejak lama. Di hari yang penuh makna ini,
aku belajar bahwa keindahan Idulfitri bukan hanya tentang kemeriahan di luar,
melainkan juga tentang bagaimana kita menghargai setiap momen, setiap
kehangatan, dan setiap pelajaran yang pernah kita terima.
Comments
Post a Comment